PIMPINAN CABANG
PEMUDA MUSLIMIN INDONESIA
KABUPATEN TAKALAR
| Sebersih-Bersih Tauhid | Setinggi-Tinggi Ilmu | Sepandai-Pandai Siyasah |

Islam Hibrida; Revivalisme, Sekularisme dan Mimikri

Muzakkir Jabir pernah mengatakan bahwa pembacaan agama yang an sich teosentris (manusia untuk agama) harus digeser secara seimbang menjadi antroposentris (agama untuk manusia). Secara sepintas, ide ini memang memberi harapan besar bagi lahirnya agama (Islam khususnya) yang peduli akan kemanusiaan. Namun dalam kenyataannya, tawaran tersebut bukanlah usaha yang tanpa resiko.

Ikhtiar untuk melakukan pembacaan terhadap agama yang lebih antroposentris bisa saja justru melahirkan bangunan keagamaan yang juga melegitimasi penindasan manusia atas manusia yang lain yang dalam bahasa Muzakkir Jabir disebutkan bahwa tujuan membangun nilai agama yang berwajah transformatif-menggerakkan, sering teralienasi atau tercerabut dari akar value sacra-nya (dimensi transenden).

Tulisan ini mencoba melakukan analisa pada upaya pembacaan yang lebih antroposentris terhadap agama namun bukan pada titik tekan akan keharusan mempertahankan value sacra (dimensi transenden), melainkan akan melihat pada sejauhmana penafsiran tersebut memberi ruang bagi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan.
*   *   *

Berbicara tentang penafsiran terhadap sebuah teks, maka ada tiga hal pokok yang menjadi hal mendasar untuk diperhatikan, yaitu masalah reproduksi, representasi dan otoritas. Ketiga hal inilah yang berkait-kelindan dan melahirkan hasil pembacaan.

Apalagi kalau kita melakukan pembacaan terhadap agama, maka ketiga hal ini menjadi begitu krusial untuk diperdebatkan. Pertama, reproduksi menyiratkan bahwa setiap hasil pembacaan merupakan sebentuk tafsir ulang terhadap sebuah teks, atau mungkin bahkan hanyalah sebuah tafsir ulang atas sebuah hasil pembacaan yang lain.

Kedua, representasi menekankan bahwa sebelum mengadakan proses pembacaan, maka modal dasar yang harus dimiliki oleh seseorang adalah representatif tidaknya dia dalam melakukan pembacaan. Ketiga, otoritas menegaskan adanya pihak yang punya legitimasi dan hak untuk meberi legitimasi sehingga seseorang representatif melakukan pembacaan dan penafsiran terhadap sebuah teks.

Karena perbedaan dalam ketiga hal inilah maka pembacaan terhadap agama sering menghasilkan tafsiran yang melandasi penindasan manusia atas manusia yang lain, dan bukannya karena teralienasi atau tercerabut dari akar value sacra-nya (dimensi transenden) sebagaimana dikatakan oleh saudara Muzakkir Jabir.

Secara garis besar, pembacaan terhadap agama dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok revivalisme dan kelompok sekularisme.

Revivalisme, menganggap bahwa proses reproduksi terhadap penafsiran atas teks keagamaan telah berakhir, karena tidak ada lagi pihak yang representatif melakukan itu. Otoritas penafsiran diserahkan kepada para ulama terdahulu (salaf al shalih). Umat sekarang hanya tinggal mengamalkan hasil pembacaan tersebut.

Wajah revivalisme mengejawantah dalam gerakan fundamentalis yang garis besar perjuangannya, sebagaimana dipetakan oleh Djaka Soetapa (1993) yaitu: 1) Pernyataan Allah dipertentangkan dengan akal manusia, 2) Kitab suci dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan, 3) Untuk mengamankan Kitab Suci terhadap kritik Kitab Suci (penelitian secara historis-kritis), maka diciptakanlah ajaran tentang inspirasi harfiah, yang menyatakan bahwa Kitab Suci itu inerrant (tidak dapat salah), 4) Mencap orang yang tidak sependapat dengan mereka sebagai “orang Kristen yang tidak benar”.

Dalam kalangan kaum revivalis, upaya pembacaan ulang terhadap agama hanya malah akan makin membuat agama tercemari dengan pemikiran-pemikiran yang sesat dan menyesatkan. Konsep agama (din) adalah konsep yang telah sempurna, sehingga pembacaan ulang terhadapnya hanyalah merusak kesempurnaan agama tersebut.

Sementara itu, sekularisme mendorong bahwa penafsiran terhadap teks keagamaan merupakan hal yang mutlak dilakukan bila sebuah agama tetap mau bertahan dalam posisinya sebagai sumber rujukan nilai bagi manusia dalam menjalani kehidupannya. Proses reproduksi pemahaman menjadi ujung tombak agama dalam menjawab tantangan zaman.

Sebagaimana kaum revivalis kaum sekularis juga menyerahkan otoritas penafsiran kepada pihak tertentu. Kalau kaum revivalis menye menyerahkan otoritas penafsiran itu kepada para ulama terdahulu (salaf al shalih), maka kaum sekularis menyerahkannya kepada kaum yang memiliki penguasaan terhadap nalar sains-positif.

Pemahaman atas agama yang representatif mewakili semangat zamannya adalah pemahaman yang saintis dan positivis yang dihasilkan oleh kaum yang ototritatif untuk itu, dalam hal ini para ilmuan-cendekiawan (saintis).

Pada dasarnya, baik kaum revivalis maupun kaum sekalaris, keduanya punya potensi besar dalam melahirkan tafsir yang hegemonik-dominatif. Hal ini bisa dilihat dari upaya untuk tetap mempertahankan adanya sentrum kebenaran sebagai otoritas dalam melegitimasi sebuah reproduksi pemahaman keagamaan yang representatif.

Cuma perbedaannya, kaum revivalis mengedepankan ulama terdahulu (salaf al shalih) dengan nalar agamanya sebagai sentrum kebenarannya, sedangkan kaum sekularis menjadikan para ilmuan-cendekiawan (saintis) dengan nalar sekulernya sebagai sentrum kebenarannya.

Padahal persoalan terbesar dalam proses pembaharuan pemahaman keagamaan menuju pemahaman keagamaan yang lebih partisipatif adalah adanya sentrum kebenaran mutlak yang bersifat metanaratif dan ini ada dalam pamahaman keagamaan kaum revivalis maupun kaum sekularis.

Dalam situasi seperti inilah konsep Islam hibrida dengan strategi mimikri-nya coba ditawarkan sebagai alternatif cara pembacaan Islam yang lebih partisipatif dan tanpa hegemoni-dominasi.

Secara sederhana ada beberapa hal yang diasumsikan dalam bangunan khas Islam Hibrida yang coba ditawarkan, yaitu pertama, tanpa sentrum kebenaran. Kedua, merupakan hasil penghayatan atas local content. Ketiga, berwujud pengetahuan non-diskursif dan kesadaran non-reflektif. Keempat, berlandaskan pada aqidah yang berorientasi praxis-pragmatis. Kelima, merupakan teologi proses.

Islam yang tanpa sentrum memungkinkan merumuskan sebuah bangunan syariat Islam yang tidak berkiblat pada nalar tertentu yang dimapan-mutlakkan. Sebuah ikhtiar melahirkan interpretasi Islam dalam pangkuan budaya lokal. Islam Hibrida memotong model asimilasi budaya satu arah, bahwa untuk menjadi Islam, maka harus menjadi seperti ulama terdahulu (salaf al shalih) atau kaum modernis. Posisi ulama terdahulu (salaf al shalih) dan kaum modernis sebagai sentrum kebenaran dari nilai Islam harus mengalami delegitimasi dengan mengedepankan penafsir-penafsir lokal yang lebih memahami nalar dan kognisi masyarakat lokal.

Islam Hibrida akan mendorong penguatan wilayah feri-feri tanpa harus terjebak pada affirmative action yang cendrung melahirkan kekuasaan otoritatif seorang penafsir sebagai kebenaran tunggal secara apriori dan mutlak. Sebagaimana mahfum, proses representasi menurut Nuhsin Arbabzadah-Green sebagaimana dikuti Farah Wardani (Kompas, 26/10/2003) bukanlah realitas yang sebenarnya, ia hanya menghadirkan satu potongan atau esensialisasi dari realitas tersebut, yang terkadang penuh reduksi dan menggeneralisasi. Bila posisi setiap representasi adalah sama, maka Islam yang di representasikan oleh ulama terdahulu dan kaum modernis, tidak berhak untuk menjadi tafsir tunggal Islam.

Karena setiap bangunan budaya sebagai wilayah feri-feri punya hak yang sama untuk merepresentasikan Islam, maka tentu akan lahir Islam yang concern terhadap local content masing-masing budaya. Dengan terbukanya ruang ini, akan memungkinkan Islam menjadi sebuah ruang penghayatan spirtualitas yang betul-betul di alami secara utuh sebagai proses kemausiaan dalam sebuah proses kemenjadian oleh seorang manusia.

Proses penghayatan yang agak fenomenologi ini, akan mendorng lahirnya bangunan pengetahuan non-diskursif, sebagai bangunan pengetahuan alternatif yang tidak di produksi oleh sebuah formasi diskursif dominan yang cendrung menghegemoni. Juga penghayatan ini akan melahirkan kesadaran non-reflektif sebagai model kesadaran yang tidak berjarak dengan realitas dan merupakan ikhtiar keluar dari belukar kesadaran ideologis yang mengekang dan membeku. Jadi Syariat Islam yang paling riil adalah yang aktual dan teraktualisasi di tengah masyarakat yang lahir dari hasil penghayatan atas realitas spiritual.

Islam Hibrida mendorong model aqidah praxis-pragmatis, maksudnya bahwa pada dasarnya tujuan utama dari aqidah adalah praxis atau pragmatis, bukan teoritis, argumentatif maupun retoris. Aqidah harus mampu menjadi landasan gerak dan menggerakkan. Tauhid sebagai doktrin dasar aqidah Islam sudah bukan saatnya lagi berbicara tentang keesaan Tuhan secara njlimet, namun lebih pada tuntutan bagaimana diktum ini mengejawantah dalam realitas lewat wajah kebenaran, keadilan dan spiritualitas.

Sebagaimana dikatakan oleh Abbe Pire seperti dikutip oleh Erich Fromm (1998), apa yang menjadi persoalan bukanlah perbedaan antara orang yang beriman dan orang yang tidak beriman, akan tetapi antara siapa yang membela (menjalankan) dan siapa yang tidak membela atau tidak mengamalkan. Kebenaran Aqidah dari Islam Hibrida terletak pada tanggungjawab kulturalnya. Bukan pada kekuatan argumentasi kebenaran teoretisnya. Inilah aqidah praxis-pragmatis yang menjadi hakekat Syariat Islam.

Ciri terakhir dari Islam Hibrida adalah coraknya sebagai teologi yang hidup dan senantiasa berjalan sebagai proses tanpa henti. Teologi proses dimungkinkan karena indikator kebenaran sebuah teologi terletak pada kemampuannya untuk senantiasa menjawab kebutuhan realitas sosial, sementara itu sebagaimana mahfum, realitas sosial merupakan sesuatu yang hidup, senantiasa berada dalam situasi dan wajah konfliktual serta kompetitif. Kondisi ini menuntut sebuah bangunan kebenaran yang bersifat holistik kebenaran yang menurut Husein Herianto (2003) berciri situasi taksa, samar dan ambigu, namun bernuansa intuitif, mistisis dan lebih estetis.

Oleh : Muhammad Kasman, SE

Ketua Umum Pimpinan Cabang Pemuda Muslimin Indonesia Kabupaten Takalar 2011 - 2013
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : TurungkaNews | ArusMudaNews | Makassar Book Review | Komunitas Pena Hijau | PB PemudaMuslim | PW Sulsel
Copyright © 2017 - PC Pemuda Muslimin Indonesia Kab. Takalar - All Rights Reserved
Template by Cara Gampang Published by Cargam Template
Proudly powered by Blogger