PIMPINAN CABANG
PEMUDA MUSLIMIN INDONESIA
KABUPATEN TAKALAR
| Sebersih-Bersih Tauhid | Setinggi-Tinggi Ilmu | Sepandai-Pandai Siyasah |

Monoteisme Dialektika Historis

Berikut ini merupakan bahan pengantar diskusi Tadarrus Pemikiran Islam, yang dilaksanakan Pimpinan Cabang Pemuda Muslimin Indonesia Kabupaten Takalar pada hari Rabu, 04 April 2012, pada pukul 20.00 - selesai yang bertempat di Jalan Sultan Hasanuddin No. 171 Ballo, Takalar.

Artikel yang berjudul Monoteisme Dialektika Historis ini, ditulis oleh Muhammad KAsman, Ketua Umum
Pimpinan Cabang Pemuda Muslimin Indonesia Kabupaten Takalar 2011 - 2013. Di dalam artikel diulas tentang dialektika antara monoteisme dengan materialisme.

 
Membincang pembaharuan pemikiran Islam pada abad 15 hijrah seperti tidak ada habis-habisnya sejak dicanangkannya abad ini sebagai abad kebangkitan Islam. Pembaharuan pemikiran diyakini bersama oleh umat sebagai kata kunci untuk benar-benar mewujudkan kebangkitan yang dimaksud. Dalam konteks Indonesia, perbincangan hangat tentang pembaharuan pemikiran Islam sudah mulai hangat pada paruh akhir abad 14 hijriah. Seperti yang nampak pada pemikiran Nurchlish madjid dan Ahmad Wahib sebagai misal.

Kalau Nurcholish mengajukan pentingnya pembaharuan pemikiran (rethinking) Islam, Ahmad Wahib malah melangkah lebih jauh lagi, Wahib menginginkan adanya pembicaraan serius tentang sumber pemikiran Islam itu sendiri. Wahib menulis bahwa sumber hukum Islam yang palin mendasar bukanlah Al Qur’an dan Hadits seperti selama ini diyakini oleh umat islam pada umumnya, menurutnya sumber Islam yang paling otentik adalah sejarah kehidupan Muhammad (sirah nabawiyah).

Pernyataan Wahib sebenarnya mengandung kekuatan tersendiri dalam mendorong pembaharuan ini, namun sayang sampai sekarang idenya tentang keharusan bagi para pembaharu Islam untuk merujukkan pemikirannya bukan pada Al Qur’an dan Hadits melainkan pada sirah, kurang mendapatkan apresiasi yang memadai dari para pembaharu pemikiran Islam di Indonesia. Memang ada dorongan besar untuk mencoba beranjak dari belitan “literalisme” oleh gerbong Jaringan Islam Liberal., namun tidak sepenuhnya mampu menangkap semangat Wahib dalam anjurannya.

Ketika Wahib menganjurkan agar pemahaman keislaman didasarkan pada sirah, maka pada saat itu sesungguhnya tersirat anjuran untuk memandang Islam sebagai sesuatu yang menyejarah. Secara langsung, ini juga berarti bahwa literalisme dalam beragama adalah hal yang harus dihindari. Dengan meletakkan wahyu Allah dan sabda Rasul dalam konteks historis tertentu, akan terlihat dengan jelas bahwa teks suci Islam bukanlah sesuatu yang berasal dari ruang kosong.

Dialektika Historis

Dalam cara pandang keislaman yang berbasis sirah, dengan jelas terpapar bahwa ayat-ayat Al Qur’an turun untuk menjawab realitas historis yang dihadapi ummat dan Nabi. Ketika umat Islam merasa risih melaksanakan shalat dengan berkiblat ke Yerusalem, maka ditengah shalatnya Nabi tiba-tiba mengalihkan kiblatnya ke arah Ka’bah setelah mendapatkan wahyu di tengah shalatnya tersebut. Atau ketika umat memperoleh kemenangan besar pada perang Badar, padahal dalam kalkulasi militer itu sangat kecil kemungkinannnya, Al Qur’an turun menjelaskan bahwa dalam peristiwa tersebut ada campur tangan Tuhan. .

Tuhan bukanlah sesuatu yang berada di negeri antah berantah, duduk diatas singgasana sambil ongkang-ongkang kaki melainkan hadir dalam proses dialektika sejarah dan dampaknya dapat dilihat secara sosiologis dan material. “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? (Q.S. 105 : 1) Ketika ayat ini difahami dalam sebuah setting sosio-temporal sirah terlihat bahwa Tuhan Islam bukanlah Tuhan yang jauh melainkan Tuhan sejarah yang tak pernah meninggalkan manusia.

Sirah juga menampilkan dengan apik bahwa Muhammad sebagai sebagai seorang rasul memang merupakan figur yang memiliki kelebihan dari Tuhan, tetapi sebagai seorang makhluk sejarah, Muhammad tetap memiliki kelemahan-kelemahan manusiawi sebagaimana manusia lainnya. Dalam sirah bisa disaksikan bagaimana Muhammad bercanda dengan para sahabatnya sambil tersenyum, atau sebaliknya beliau menangis ketika ada sahabatnya meninggal dunia. Bahkan Muhammad sebagai kepala keluarga, juga memamerkan bayi laki-lakinya dengan bangga sebagaimana ayah yang lain.

Ketika wahyu Allah dan Sunnah Muhammad dipandang dalam konteks sosio-temporal sebagai basis materialnya, konsep dan ajaran Islam menjadi ajaran yang secara manusiawi dapat diikuti dan diamalkan. Ajaran Islam tidak diterima sebagai sebuah bangunan doktrin yang beku melainkan sebagai sesuatu yang layak diaplikasikan untuk mendorong transformasi dan menjawab berbagai problem sosial yang dihadapi umat pada masanya.

Monoteisme Dialektis
Sebagai sebuah konsep ketuhanan yang monoteistik, dalam konteks historis, tawhid bukanlah sebongkah doktrin (ortodoksi) sebagaimana halnya teologi dalam ajaran Kristiani, monoteisme tawhid lebih merupakan ortopraksi. Konsep ketuhanan ini bergulat dan bergelut tidak dengan konsepsi dan bangunan teologi lain melainkan menceburkan diri dalam realitas sosial, tawhid tidak mengenal monastisisme (kebiaraan). Ali Syariati (1988 : 54) mengungkapkan “monastisisme Anda bukanlah berada dalam biara, tetapi dalam masyarakat; pengorbanan diri, ketulusan, peniadaan diri, tahan kerja keras, perampasan/kerugian, penganiayaan, kemarahan, dan menerima bahaya di arena pertempuran dan demi rakyatlah Anda mencapai Tuhan”.

Karena sifatnya yang ortopraksi, tawhid tidak mengenal bid’ah teologis dalam bangunan ajarannya. Perbedaan-perbedaan yang muncul hanyalah perbedaan sikap politik. Sehingga adalah sesuatu yang naif dalam Islam jika terjadi proses pentakfiran dan tindak kekerasan terhadap berbagai sekte Islam karena dituduh sesat (sebagaimana yang menimpa Ahmadiyah). Secara teologis, monoteisme tawhid hanya menutup ruang kompromi bagi kaum monolatrous; kaum yang mengakui keesaan Allah, tapi juga tetap hendak menyembah yang lain.

Dalam sirah, kekafiran sebagai lawan dari keimanan kepada tawhid tidaklah dijelaskan dalam kategori-kategori yang bersifat doktrinal melainkan pada sebuah makna yang lebih sosiologis. Kafir bukanlah mereka yang berteologi salah, melainkan mereka yang tidak berterimakasih pada rahmat Allah; dalam artian tidak menafkahkan sebagian rezekinya untuk kebaikan sosial. Inilah teologi ortopraksi, mengedepankan tindakan yang benar.

Tawhid sebagai monoteisme dialektika historis tetap memberi ruang yang besar bagi maksimalisasi potensi akal manusia disamping wahyu. Sirah memperlihatkan hal ini dengan gamblang dalam peristiwa perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan atas dasar inisiatif Muhammad sendiri sebagai seorang pemimpin politik. Situasi ini bagi Karen Armstrong (2001 : 367) digambarkan bahwa Al Qur’an tidak mengharapkan kaum Muslim meninggalkan akal sehatnya atau duduk saja menunggu Tuhan menyelamatkan mereka dengan keajaiban. Islam adalah keimanan yang praktis dan realistis, yang memandang kecerdasan manusia dan ilham ketuhanan bekerjasama secara harmonis.

Melihat hal ini semua, maka ajakan Ahmad Wahib untuk mempelajari Islam langsung dari sirah nabi (Al Qur’an dan hadits merupakan bagian integral di dalamnya) adalah sesuatu yang patut untuk dilirik ditengah suramnya wajah keislaman dan kondisi umat yang terjepit diantara literalisme dan liberalisme keislaman yang mengalami mistifikasi dan bahkan radikalisasi. 


ilustrasi dicomot disini 
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : TurungkaNews | ArusMudaNews | Makassar Book Review | Komunitas Pena Hijau | PB PemudaMuslim | PW Sulsel
Copyright © 2017 - PC Pemuda Muslimin Indonesia Kab. Takalar - All Rights Reserved
Template by Cara Gampang Published by Cargam Template
Proudly powered by Blogger