[26.11.2012] “Sekolah
Literasi insya Allah jadi hari Ahad ini Kanda. Saya sudah mendatangi empat
sekolah dan beberapa siswanya menyatakan siap ikut”, demikian bunyi pesan
singkat yang dikirim oleh Ketua Departemen Ekonomi, Politik, Sosial,
Budaya, dan Olahraga Pemuda Muslimin
Indonesia Cabang Takalar, Rustam Daeng Pasang kepadaku, Jum’at (23/11/2012)
sore.
Dengan muka sumringah
dan hati berbunga, kujawab pesannya, “Baik, kita matangkan kegiatannya pada
rapat malam Ahad ya”. Lidahku tak lelah mengucap syukur, ternyata masih ada
juga generasi muda Takalar yang masih waras dan bersedia meluangkan waktu
belajar menulis bersama.
Saat malam ahad kami
bertemu, terungkap dari mulut Daeng pasang bahwa kegiatan ini bukan tanpa
hambatan. Ketiadaan dana sudah tidak masuk dalam hitungan kami, sudah terlalu
banyak program yang kami jalankan dengan bermodal lillahi ta’ala.
Namun, komentar beberapa guru pembina OSIS membuat kami harus mengurut dada.
“Wah, apa lagi ini
Pemuda Muslim, pasti politik lagi ini, karena organisasi. Kami tak mengizinkan
siswa kami untuk ikut, takut mereka tercemar politik”, demikian ujar Daeng Pasang
menirukan kalimat salah seorang guru. Belum lagi, “Kami tak akan meminjamkan
ruang kelas kami, kalian pasti cuma bikin kotor”.
Namun berkat
ketelatenan Daeng Pasang menjelaskan tentang eksistensi Pemuda Muslimin
Indonesia Cabang Takalar serta seperti apa Sekolah Literasi yang akan kami
laksanakan, akhirnya kegiatan tersebut berhasil kami laksanakan dengan
mendapatkan pinjaman kelas dari SMA Negeri 1 Galesong Selatan, meski cuma untuk
satu kali pertemuan.
“Untuk pertermuan
berikutnya, nanti akan kita usahakan lagi tempatnya kanda” tegas Daeng Maraga,
salah seorang pengurus Pemuda Muslim Takalar yang juga hadir. “Insya Allah,
yang penting luruskan niat. Allah akan menolong kita semua”, komentarku
menguatkan keyakinannya.
Ketika memberikan
arahan di awal pertemuan pertama Sekolah Literasi kami, aku menjelaskan kenapa
Pemuda Muslim rela melakukan kegiatan yang tidak populis seperti ini.
Mungkin kita sudah
sering mendengar Surah Al Alaq (96) dibacakan, tapi aku yakin, titik tekannya
pada persoalan membaca, belajar, ber-iqra. Coba perhatikan ayat pertama
yang sangat populer itu ‘Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang
menciptakan’ (QS. 96:1). Allah menginstruksikan kita untuk senantiasa
membaca, membaca dengan menyebut nama Allah.
Padahal, ada sebuah
aktivitas lain yang dicontohlan Allah dalam ayat selanjutnya, dan kadang kita
lalai, ‘Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia)
dengan perantaraan kalam’ (QS. 96:3-4). Dengan tegas Allah menjelaskan
bahwa Dia mengajar manusia melalui kalam, melalui pena, melalui alat tulis. Itu
berarti bahwa menulis merupakan aktivitas yang tak kalah pentingnya dengan ber-iqra.
Buat apa Allah
menggunakan kalam, buat apa Alah menulis? Dengan tegas Al Quran menjelaskan, ‘Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya’ (QS. 96:5). Ini
berarti bahwa kegiatan menulis merupakan kegiatan yang begitu penting, menulis
merupakan aktivitas pencerahan, mengantarkan manusia dari posisi tidak tahu
menjadi mengetahui.
Mereka yang mengambil
peran sebagai penulis adalah mereka yang berani menempatkan diri menjadi wakil,
khalifah Allah dalam menggunakan pena memberikan pencerahan kepada sesama
manusia. Bukankah itu merupakan tugas yang demikian mulia dan terhormat? Maka
berbanggalah mereka yang merengkuh amanah ini dengan penuh kegembiraan.
Dalam hati, aku teringat kalimat dahsyat
yang ditulis oleh Raja Ali Haji dalam Mukaddimah Kitab Bustan al Katibin, ‘Segala
pekerjaan pedang itu boleh dibuat dengan kalam. Adapun pekerjaan kalam itu ,
tiada boleh dibuat dengan pedang. Dan beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah
terhunus, dengan segores kalam jadi tersarung’.
Kalimat tersebut masih senantiasa
bergema dalam rongga dadaku, bahkan sampai saat catatan ini aku buat. Kalimat
itu menjadi gerinda yang kian menajamkan semangatku untuk menulis, menulis dan
menulis. Kalimat itu mengasah pena batinku untuk senantiasa mengguriskan kata,
merangkali kalimat, sesederhana apapun informasi yang aku sampaikan melaluinya.
Ketika kami semua yang terlibat dalam
Sekolah Literasi Pemuda Muslim mengakhiri kegiatan pada Ahad (25/11/2012) sore
itu dan berkomitmen untuk bertemu kembali ahad depan, dalam hatiku senantiasa
berharap agar petuah Raja Ali Haji menjadi menjadi mantra yang menguatkan kami
semua untuk bersetia di jalan kepenulisan. Salam Literasi.
Posting Komentar