pemilu, pemilu
dengan apa aku
menyambutmu
sebagai warga negara yang patuh
kubulatkan tekad untuk ikut bersatu
berjejal di tempat pemungutan suara yang berdebu
dengan hati tak menentu,
akhirnya kuserahkan juga pilihanku
pemilu, pemilu
adakah kini aku tak salah menunggu
pemimpin-pemimpin yang tulus menjenguk hati
bekerja demi kehidupan dan kehormatan bangsa ini
ataukah cuma ilusi, berakhir anganku
pada sayatan sembilu
pemilu, pemilu
dari sekian juta suara dalam kotak itu
kubayangkan pula selembar suaraku
berdesak-desakan mencari pintu
pintu yang penuh cahaya, dimanakah itu?
o, kuharap ia tak berakhir pilu
dan harapan tak selamanya kelabu
pemilu, pemilu
setelah mendengar perhitungan suara yang palsu
perlahan-lahan impianku
rontok satu demi satu
terkubur jutaan gombal dan janji yang riuh
pemilu, pemilu
setelah tahun-tahun rusuh
dan kabut hitam mengepung jiwaku
bagaimana lagi aku menyambutmu
sebagai warga negara yang patuh
kubulatkan tekad untuk ikut bersatu
berjejal di tempat pemungutan suara yang berdebu
dengan hati tak menentu,
akhirnya kuserahkan juga pilihanku
pemilu, pemilu
adakah kini aku tak salah menunggu
pemimpin-pemimpin yang tulus menjenguk hati
bekerja demi kehidupan dan kehormatan bangsa ini
ataukah cuma ilusi, berakhir anganku
pada sayatan sembilu
pemilu, pemilu
dari sekian juta suara dalam kotak itu
kubayangkan pula selembar suaraku
berdesak-desakan mencari pintu
pintu yang penuh cahaya, dimanakah itu?
o, kuharap ia tak berakhir pilu
dan harapan tak selamanya kelabu
pemilu, pemilu
setelah mendengar perhitungan suara yang palsu
perlahan-lahan impianku
rontok satu demi satu
terkubur jutaan gombal dan janji yang riuh
pemilu, pemilu
setelah tahun-tahun rusuh
dan kabut hitam mengepung jiwaku
bagaimana lagi aku menyambutmu
Muhary
Wahyu Nurba
Lahir di
Makassar pada 5 Juni 1972. Anggota Masyarakat Sastra. Tamalanrea. Selain
menulis puisi, ia juga menulis cerpen, esei dan membuat desain grafis untuk
beberapa buku dan majalah.
Puisi-puisinya
ditemukan dalam berbagai antologi baik yang terbit di Sulsel maupun di luar
Sulsel. Ia menulis di berbagai media antara lain pada harian Fajar, Pedoman
Rakyat (Makassar), Jurnal Puisi (jakarta) dan Plangi Magazine (Australia).
Tahun
2004 diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk membacakan puisi-puisinya dalam
Forum Cakarawala Sastra Indonesia. Bukunya yang telah terbit antara lain:
Meditasi (1996), Jadilah Aku Angin Jadilah Kabut (1997), dan Sekuntum Cahaya
(1999).
Sebagai
editor ia telah menyunting puluhan buku dan minatnya pada sastra telah membuat
ia mendirikan penerbit Saji Sastra Indonesia, kemudian Gora Pustaka, dan saat
ini sedang mengembangkan penerbit Nala Cipta Litera, sebuah penerbitan buku
sastra, seni dan budaya di Sulawesi selatan.
Selain
menulis, ia juga terkenal sebagai pembaca puisi dan melukis. Dapat dihubungi di https://twitter.com/muharywn
+ komentar + 2 komentar
kang Muharry ini kader pemuda muslim? Salam Kenal dari PC Pemuda Muslimin Indonesia Kab Garut
Kang Angga, Bang Muhary ini bukan kader pemuda muslim. tapi beliau termasuk sahabat baik kader pemuda muslim :)
Posting Komentar